Laporan  Kusman Rusmana, Humas FISIP Unpad

[pps.fisip.unpad.ac.id, 28-08-2023] Bandung – Senin, 28 Agustus 2023 (13.30), Program Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran kembali melaksanakan sidang Promosi Doktor, pada kesempatan ini R Willya Achmad W yang merupakan mahasiswa Doktoral Program Studi Kesejahteraan Sosial ,resmi menyandang gelar Doktor di Universitas Padjadjaran, setelah menyelesaikan sidang promosi.

Promovendus dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 14 Mei 1994 dari pasangan Bapak Wolnedi, S.E dan Ibu Prof. Dr. Hj. Rd. Siti Sofro Sidiq, M.Si , sebagai Putra ke 2 dari 3 bersaudara. Pernikahannya dengan Fetrianna Triliana Mugeni, S.Sos dikaruniai 1 (satu) orang anak yaitu Raden Sutan Kawani Wolnedi. Riwayat Pendidikan : Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 2006 di SDN 036 Pekanbaru , SMP diselesaikan pada tahun 2009 di SMPN 10 Pekanbaru , SMA diselesaikan pada tahun 2012 di SMA Handayani Pekanbaru, Jenjang pendidikan Sarjana lulus pada tahun 2016 di Universitas Langlang Buana Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial serta Lulusan pada Program Sosiologi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Mengambil juga Jurusan Ilmu Hukum pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan, Program Magister diselesaikan tahun 2020 di Universitas Padjadjaran, dan pada semester (genap) tahun akademik 2021 masuk kuliah Program Doktor Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Riwayat Jabatan/Pekerjaan, pada saat ini Promovendus menjabat sebagai Dosen Tetap di Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Pasundan.

Disertasi yang diujikan menurut R Willya Achmad W Kerdil atau panggilan lain dari stunting pada anak, mencerminkan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis, sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk seusianya (Palutturi et.al., 2020; Hemalatha et.al., 2020). Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan hingga usia dua tahun, dengan demikian periode 1000 hari pertama kehidupan seyogyanya mendapat perhatian khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depan (Aryastami & Tarigan, 2017; Saputri & Tumangger, 2019). Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2018 mendapat hasil sebesar 27,5% balita Indonesia termasuk dalam kategori pendek (Kemenkes, 2019), Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan situasi nasional juga terjadi di Kabupaten Bandung. Dari angka prevalensi stunting nasional, Kabupaten Bandung masuk dalam kategori 10 besar di tahun 2020, sehingga Kabupaten Bandung mendapatkan dana alokasi khusus untuk percepatan dan penanggulangan stunting. Berdasarkan pada kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Bandung di tahun 2019 membuat satu program sebagai bentuk implementasi yaitu “Sabilulungan Rembug Stunting”.

Program “Sabilulungan Rembug Stunting” diperkuat oleh Peraturan Bupati No. 74 Tahun 2019 tentang percepatan pencegahan dan penanggulangan stunting. Selain Perbup Bandung No. 74 Tahun 2019, pada tahun 2021 program tersebut berganti nama menjadi “BEDAS Stunting”. Arti BEDAS itu sendiri memiliki arti “Bangkit Edukatif Dinamis Agamis dan Sejahtera” digagas oleh Pemerintah Kota Bandung untuk memfasilitasi keterbukaan dalam perwujudan program bansos dan hibah melalui media daring. Program BEDAS sudah berjalan kurang lebih 2 tahun dan pemanfaatan sumber-sumber yang ada ini salah satunya adalah pemanfaatan modal sosial yang ada di masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana modal sosial dalam penanganan stunting yang ada di Kabupaten Bandung. Putnam (1993) mengartikan modal sosial sebagai suatu fitur organisasi sosial yang mencakup kepercayaan, norma dan jaringan yang bisa meningkatkan efesiensi masyarakat melalui fasilitas tindakan yang terkoordinasi, Putnam (2000:18-19) juga mengatakan bahwasanya modal sosial ini mengacu pada hubungan antara individu, sehingga jejaring sosial mempunyai nilai dan produktivitas individu dan kelompok dapat dipengaruhi oleh kontak sosial (Petra, 2011).

Terkait dengan kajian mengenai modal sosial dan penanganan stunting, terdapat beberapa kajian yang sudah dilakukan. Pada umumnya kajian tersebut menekankan pada adanya faktor- faktor yang menjadi penentu dalam pencegahan stunting (Maulidia & Hidayat, 2019; Setyawati & Alam, 2010). Kajian tersebut juga menekankan modal sosial sebagai lokalitas masyarakat dalam merespon eksternalitas di masyarakat. Selain itu, kajian mengenai modal sosial dan stunting juga dilakukan untuk mengkaji keterkaitan antara modal sosial dan modal ekonomi dalam isu kesehatan (Rahmawati, et.al., 2019; Ranti & Utama, 2018; Fikrina at.al, 2017; Priyono, 2020). Kemudian, terdapat pula kajian yang melihat adanya keterkaitan antara modal sosial dengan layanan kesehatan (Rahmadi, 2017; Sary, 2020). Dari kajian-kajian tersebut, masih terdapat ruang kosong mengenai pemanfaatan modal sosial yang ada di masyarakat dalam penanganan stunting. Berdasarkan kajian-kajian yang sudah dilakukan juga dapat disimpulkan bahwa modal sosial yang tinggi dapat menjadi wadah bagi aktivitas masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang memberikan maanfaat bagi masyarakat bersama, modal sosial yang berisi kepercayaan dan jaringan sosial. Nilai dan norma tersebut juga menjadi pondasi yang menopang serta menentukan perkembangan keberlanjutan masyarakat dan pemerintah dalam kasus penanganan stunting. Pemanfaatan modal sosial khususnya dalam penanganan stunting yang terjadi di Kabupaten Bandung, menarik perhatian peneliti karena Kabupaten Bandung merupakan Kabupaten yang memiliki angka prevalensi stunting yang melambung jauh di atas rata-rata pravelensi stunting Provinsi Jawa Barat maupun pravelensi stunting nasioanl (Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK), 2020). Dengan demikian, kajian ini mengangkat tema mengenai Pemanfaatan Modal Sosial dalam Penanganan Stunting yang terdapat di Kabupaten Bandung.

Dalam penelitian Maulidia & Hidayat (2019) di Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo modal sosial memiliki hubungan dalam penurunan angka stunting yang menyatakan bahwa modal sosial sebagai faktor penentu dalam pencegahan stunting, memanfaatkan faktor kepercayaan serta jaringan sosial masyarakat sehingga memudahkan proses sosialisasi bagi ibu hamil dan membangun sebuah komunitas yang peduli terhadap bayi kerdil (Stunting). Hal ini sejalan dengan penelitian Setyawati & Alam (2010) modal sosial (social capital) sebagai salah satu aspek sosial yang merupakan pondasi sosiologis masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya memperoleh manfaat bersama (mutual benefit). Modal sosial ini mencerminkan lokalitas yang ditunjukkan melalui bagaimana masyarakat merespon eksternalitas dari luar komunitas mereka, maka dari itu beberapa ahli berpendapat bahwa jika modal sosial dapat menggantikan atau melengkapi bentuk modal lain, mungkin akan menjadi sumber daya yang sangat menguntungkan di negara berkembang di mana modal manusia dan ekonomi sering ditemukan (Rahmawati et.al., 2019).

Penelitian secara konsisten menyoroti bagaimana faktor sosial ekonomi pribadi, seperti pendidikan atau SES, memoderasi hubungan antara modal sosial dan kesehatan (Ranti & Utama, 2018; Fikrina at.al, 2017; Priyono, 2020) namun sedikit bukti yang menghubungkan perkembangan komunitas di mana modal sosial beroperasi dengan pengaruhnya (Rahmadi, 2017; Sary, 2020). Misalnya, ketika akses ke layanan kesehatan terbatas, orang-orang yang kurang berpendidikan, dan infrastruktur yang lemah, modal sosial dapat membuat perbedaan yang signifikan terhadap kesehatan anak. Sebaliknya, hal itu mungkin berdampak kecil di masyarakat dengan sumber daya yang sedikit, penyediaan informasi dan kontak mungkin tidak memadai jika sistem dasar tidak tersedia.

Berdasarkan hasil beberapa temuan penelitian sebelumnya diatas, peneliti beranggapan bahwa masih belum banyak pihak yang melibatkan aspek modal sosial dalam menangani suatu isu atau masalah khususnya isu stunting yang menjadi bahasan penelitian ini sehingga peneliti bermaksud membuka wawasan dan inovasi baru terhadap penanganan stunting karena dapat dilihat dari beberapa literatur, teori serta penelitian terdahulunya bahwa modal sosial akan berpengaruh dalam membantu penurunan stunting di Indonesia maka penelitian ini dibuat agar mendapat temuan baru terkait “Modal Sosial dalam Penanganan Stunting di Kabupaten Bandung”.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini melakukan analisis terhadap keterkaitan antara Norma, Kepercayaan dan Jaringan Sosial serta melibatkan elemen-elemen modal sosial yaitu Bridging Social Capital, Bonding Social Capial dan Linking Social Capital. Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti merupakan instrumen utama (key instrumen) dalam pengumpulan data dan menginterpretasi data dengan menggunakan pedoman wawancara dan pedoman observasi. Informan dalam penelitian ini yaitu para informan yang terdiri dari perangkat daerah seperti pemerintah daerah Kabupaten Bandung bidang Kesehatan dan Sosial, perangkat Desa seperti Kepala Desa beserrta Jajarannya dan lembaga kesehatan serta masyarakat penerima dan pelaksana program penanganan stunting     di Kabupaten Bandung.

Sidang Promosi Doktor dipimpin oleh Ketua Sidang Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, Sekretaris Sidang Dr, Muhammad Fedryansyah, S.Sos., M.Si , Ketua Promotor . Prof. Dr., Dra. Hj. Nunung Nurwati, M.S  Anggota Tim Promotor Dr, Muhammad Fedryansyah, S.Sos., M.Si, Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata serta tim Oponen Ahli/Penguji yang terdiri dari Dr. Rudi Saprudin Darwis, S.Sos., M.Si, Dr. Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si, Dr. Rupita, M.Kes. Representasi Guru Besar Prof. Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum Disertasi yang disusun berjudul “MODAL SOSIAL DALAM PENANGANAN STUNTING DI KABUPATEN BANDUNG”. yang dinyatakan lulus dengan predikat “Pujian”

Selamat atas diraihnya gelar Doktor  kepada Dr. R Willya Achmad W Semoga gelar dan ilmu yang didapatkan dapat berguna bagi dunia pendidikan, dan Intansi tempat bekerja.

 

Sumber : pps.fisip.unpad.ac.id